Oleh: Dwi Fahrial
“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”
“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”
Kalimat itu begitu menghentak. Tapi setelah lewat beberapa detik,
Hati saya malah tergelitik nyaris terpesona dengan makna kalimat unik
itu. Bagaimana mungkin kemabruran seseorang sudah harus dimulai sebelum
ia sendiri berangkat ke tanah suci. Bukankah perjalanan ibadah ke sana
untuk mendapatkan haji yang mabrur..? Ah, bagaimana mungkin?
Dalam buaian semilir angin sore, saya terus mengunyah-ngunyah makna
kalimat itu. Benar-benar kalimat yang mengusik keingintahuan saya.
Begitu menelisik , perlahan masuk ke sela-sela memori saya yang mulai
payah diajak sprint dalam belajar dan menyerap informasi. Ah, saya harus
jujur mengakui, lambat nian nalar saya bisa mencerna kalimat itu dan
memahami maknanya. Pengolahan informasi tertatih-tatih dalam sel-sel
memori saya yang serasa menyempit.
“Kenapa bisa begitu..?”
Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut saya. Itu bagus,
sebelum keburu eror jaringan saraf saya memikirkan makna kalimat itu.
Saya tatap wajah teduh itu dengan binar mata ingin tahu. Ni orang asal
jangan sembarang ngomong aja tapi ia sendiri ga paham maksud
kata-katanya itu. Lintasan pikiran saya sempat berkelibat seperti itu.
Tapi hati saya menepis pikiran liar itu. Orang dengan wajah teduh ceria
seperti ia dengan kalimat lembut menawan tak layak dicurigai. Ia pasti
punya jawaban asik untuk pernyataan yang menggelitik itu. Ia orang soleh
yang cerdas. Racikan kata-katanya sedap dan krispi. Jeli memilih dan
memilah kata, jadilah kalimat-kalimatnya menjadi ramuan yang sedap di
telinga kaya gizi pula. Dan sama sekali terhindar dari mengumbar
kata-kata kacangan yang kosong makna dan tanpa data.
“Hahaha..”
Ia malah tertawa kecil memamerkan deretan gigi jagungnya yang indah.
Rona wajahnya enak nian ditatap, memancarkan aura kehangatan dan
kedekatan. Seakan sudah dapat menduga saya akan berkata seperti itu.
Sebentuk kepuasan tergurat di garis bibirnya yang proporsional. Saya
merasa tersinggung sebenarnya, tapi saya tak punya alasan mengapa merasa
seperti itu. Saya balas tawa kecilnya dengan kalimat lebih terbuka…
“Oke, sekarang jelaskan kenapa bisa begitu…?”
Saya harus tegaskan kalimat itu dengan tetap memasang senyum nomor
tiga dan wajah ceria sebisa saya. Seakan saya diajarkan bagaimana
memasang wajah cahaya setiap kali berhadapan dengan lawan bicara. Saya
merasakan betul pantulan cahaya dari wajahnya setiap kali ia berbicara
pada saya. Ah, kau pasti menganggap aku berlebihan kan..?! Tidak kawan,
saya tidak berlebihan. Setidaknya seperti itulah yang saya rasakan.
Mungkin kau-pun pernah merasakan, betapa asik berbicara dengan seseorang
meski hanya berbicara topic-topik ringan dan sederhana. Atau malah
sebaliknya, kita bisa merasakan asik berbicara meski membahas topic yang
berat dan pelik. Saya piker itu termasuk keterampilan berbicara.
Makanya saya memantas-mantaskan diri meniru bagaimana ia berbicara
dengan pantulan cahaya hangatnya.
“Kau tahukan, bahwa Haji itu rukun Islam ke lima, artinya yang terakhir..!”
Ia membuka kalimat lanjutan secara datar saja.
“Iya..!”
Jawab saya spontan. Tanpa menunggu komando, nalar saya mulai bereaksi
cepat. Kalimatnya membuat sepersekian jawaban di memori saya bekerja.
Diolah dan menyatu dalam sebuah jawaban kecil. Tersimpan di salah satu
sel otak saya yang akan siap dikeluarkan menunggu perintah berikutnya.
Tapi saya terlambat, kalimat berikutnya menyusul keluar dari mulutnya
memberi penjelasan tambahan.
“Itu artinya, orang-orang yang pergi ke Baitulloh untuk ibadah Haji
adalah orang-orang yang seharusnya sudah beres rukun islam yang pertama
sampai ke empat-nya. Syaadatnya sudahbenar. Sholatnya sudah benar.
Begitu pula saum dan zakatnya. Maka, saat ia berangkat Haji, ia sudah
menjadi seorang yang mabrur, seorang yang baik ibadah-ibadahnya.
Sehingga menjadi Haji mabrur menjadi sebuah formalitas saja sebenarnya.”
Saya diam. Merenung. Tersenyum. Saya tatap wajahnya yang teduh namun
hangat itu dengan rasa kagum. Betapa sederhana kalimat itu menjadi
sebuah kaedah. Mengapa saya tak berpikir dan memahami seperti itu?
Padahal sudah puluhan tahun terlewati seiring melajunya usia.
“Terima kasih banyak atas pencerahannya.”
Ujar saya cepat. Karena diapun hendak segera berlalu. Dengan berat
dilepasnya pelukan eratnya nan hangat. Saya beruntung bertemu dia,
banyak nian kalimat-kalimat hikmah yang saya dapat saat kami ngobrol
kilat, memang hanya sepintas, seperti sekarang ini, saat saya
bersiap-siap akan berangkat bersama kloter 17 JKS, dan bertemu beberapa
menit saja sebelum saya naik bis ke bandara ke tanah suci.
“Jangan lupa banyak berdoa di sana..!”
Sambil berbalik badan ia berlalu dan hilang di kerumunan pengantar dalam keremangan subuh.
Sumber :
http://www.rumahkeluarga-indonesia.com/mabrur-sebelum-haji-6577/
Tagged with: Berita