health

vehicles

business

Login Email Sahara Kafila
Google Account
Username:
Password:

Oktober 2014

Ia memberikan seluruh uangnya untuk naik haji guna memberi makan anak yatim.
Setiap orang yang ingin menunaikan rukun Islam kelima, pastilah ia pergi ke Makkah dan Madinah untuk melakukan rukun-rukun haji.

Namun, ada satu kisah yang menjadi pengecualian. Satu orang ini telah ditulis oleh malaikat akan ibadah hajinya, padahal ia belum menjejakkan kakinya di Tanah Haram.

Saat itu seorang tabiin bernama Abdullah bin Mubarak sedang pergi haji. Tak sengaja, ia tertidur di Masjidil Haram. Dalam tidurnya, ia bermimpi mendengar dua orang malaikat yang sedang bercakap-cakap.

“Berapa banyak umat Islam yang berhaji di tahun ini?” tanya sang malaikat kepada malaikat yang satunya. “Enam ratus ribu orang, tapi tidak ada satu pun yang diterima. Hanya ada satu orang tukang sepatu bernama Muwaffaq dari Damsyik yang tak bisa berangkat haji, namun malah diterima. Karena sang tukang sepatu tersebut, semua yang haji pada tahun ini bisa diterima,” ujar sang malaikat satunya.

Dengan segera Abdullah bangun dari tidurnya. Ia tak percaya dengan apa yang didengar dalam mimpinya tersebut.

Namun, untuk menjawab rasa penasarannya, sepulangnya dari perjalanan haji, ia datang ke Damsyik dan mencari tukang sepatu tersebut.

Akhirnya sampailah ia ke Damsyik dan bisa menemukan rumah orang bernama Muwaffaq. Ia pun yakin mimpinya tadi bukan sembarang mimpi, namun merupakan sebuah petunjuk dari Allah SWT.

Ia berhasil menemui Muwaffaq. Ia pun masuk ke rumahnya dan dimulailah pembicaraan untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya.

Mengapa seseorang yang tidak berangkat haji namun dihitung amal ibadahnya telah naik haji?  “Kebaikan apa yang telah Kau lakukan hingga kau bisa tercatat telah berhaji, padahal kau tidak pergi?” tanyanya.

Tukang sepatu pun menjawab. Ia bercerita sebenarnya sudah berniat untuk pergi berhaji. “Melihat kondisi ekonomiku yang sederhana ini, sangat mustahil untuk mengumpulkan uang yang dipakai bekal berhaji. Namun, atas pertolongan Allah, aku tiba-tiba diberikan rezeki sebesar 300 dirham atas jasaku menambal sepatu seseorang,” kata Muwaffaq mulai bercerita.

Dengan sejumlah uang tersebut, Muwaffaq berniat untuk pergi haji. Dengan uang yang didapatnya tersebut, ia merasa dirinya mampu berangkat haji. Hal ini pun mendapatkan persetujuan istrinya yang sedang hamil.

Sebelum niat itu terlaksana, suatu hari istri Muwaffaq mencium bau masakan dari rumah sebelah. Karena sedang hamil, ia merasa sangat menginginkan masakan yang dipikirnya pasti sangat lezat tersebut.

Muwaffaq pun pergi ke rumah tetangganya, dengan maksud meminta sedikit makanan yang baunya tercium oleh istrinya tersebut. Karena alasan istrinya sedang hamil, Muwaffaq pun yakin tetangganya pasti akan berbaik hati membagi makanan tersebut.

Saat memasuki rumah tetangganya itu, ia terkejut ternyata sang tetangga tak mau memberikan masakannya sedikit pun meski ia mengatakan yang menginginkannya adalah istrinya yang sedang hamil.

Tetangganya kemudian dengan lembut mengatakan alasan. “Aku sebenarnya tak mau membuka rahasiaku ini, sebenarnya rumah ini dihuni olehku dan anak-anak yatim yang telah tiga hari tak makan karena memang kami tak punya apa pun untuk dimakan,” ujarnya bercerita.

“Kemudian, aku keluar rumah untuk mencari apa pun yang bisa kami makan, hingga tiba-tiba saat berada di jalanan, aku menemukan bangkai kuda. Bangkai itulah yang aku potong kemudian aku bawa pulang dan kumasak hingga aromanya sampai tercium oleh istrimu,'' ujar tetangganya.

Sang tetangga menambahkan, ''Maafkan aku, bagi kami masakan bangkai kuda ini halal karena memang tidak ada pilihan lain, tapi bagimu masakan ini haram untuk kau makan,” katanya menjelaskan.

Muwaffaq pun kemudian kembali ke rumah dan menjelaskan hal tersebut kepada istrinya. Ia kemudian mengambil uang 300 dirham simpanannya untuk diberikan kepada tetangganya tersebut agar bisa dibelanjakan bagi anak-anak yatim di sana. “Hajiku ada di pintu rumahku,” ujarnya.

Abdullah bin Mubarak pun tercengang mendengar kisah ini. Ia tak menyangka amal ibadah sang tukang sepatu itu sangat besar.

Selama ini, ia menganggap ia yang kaya raya ini sangat dermawan, namun ternyata di hadapannya kini duduk orang yang jauh lebih dermawan dan tulus darinya.

Dalam surah al-Baqarah ayat 220 disebutkan, “Dan mereka bertanya kepadamu mengenai anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amat baik bagimu.”

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meletakkan tangannya di atas kepala anak yatim dengan penuh kasih sayang maka untuk setiap helai rambut yang disentuhnya akan memperoleh satu pahala dan barang siapa berbuat baik terhadap anak yatim, ia akan bersamaku di Jannah.” (rol/ds/nabawia.com)

oleh: Rosita Budi Suryaningsih
LABAIKALLAHUMMA LABAIK, LABAIKKALA SYARIKA LAKA LABAIK, INNALHAMDA WANNI’MATA LAKA WALMULK LAA SYARIKA LAKA (Kami penuhi panggilanMu ya Alllah, Kami penuhi Panggilanmu, tidak ada sekutu bagiMu, Sungguh segala puji dan ni’mat serta kekuasaan hanya milikMu dan tidak ada sekutu bagiMu)

Kalimat Talbiyah inilah yang sering di dengungkan oleh Jamaah Haji PT. Sahara Kafila Wisata, semenjak keberangkatan dari Hotel Pop dan Hotel Ibis pada tgl 25 Sept 2014, sebagai wujud kepasrahan dan kesadaran spiritual, bahwa kita bisa menunaikan ibadah haji tahun ini semata-mata hanya panggilan Allah SWT, bukan karena harta yang kita miliki, jabatan atau status soai lainnya.
Pemahaman yang mendalam akan makna talbiyah dapat berdampak positif pada perjalanan haji seseorang, jamaah akan merasakan kemudahan yang luar biasa dan Insya Allah akan membawa pada haji Mabrur. Pemahaman akan makna talbiyah ini yang sering kita kaji dalam pengajian-pengajian menjelang pelaksanaan ibadah haji selama  jamaah berada di rumah transit dari Tgl 26 Sep s/d 1 Okt 2014 oleh para pembimbing ibadah haji PT. Sahara Kafila Wisata


Jamaah haji Sahara Kafila , memulai ritual haji dengan melakukan Tarwiyah pada tgl 8 Dzulhijjah 1435 H, menuju Mina untuk banyak berzikir dan berdoa sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW . Pada tengah malam bergerak menuju Arofah untuk persiapan Wukuf yang pada Tahun ini bertepatan dengan hari Jum’at, dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa bila wukuf terjadi pada hari jum’at maka haji tersebut di namai haji Akbar yang pahalanya setara dengan 70 kali haji biasa.  Dari Tholhah Ibnu Abdullah Ibnu Kuraidz : Sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda : Sebaik-baik hari  adalah hari Arafah yang bertepatan dengan hari jum’at,  memiliki keutamaan sebanding dengan 70 kali haji yang wukufnya bukan di hari jum’at (HR. Radzin). Pelaksanaan wukufpun berjalan dengan penuh kekhusyuan, jamaah banyak diajak untuk bermuhasabah baik secara berjamaah atau sendiri-sendiri.

Usai melaksanakan wukuf, kami bergerak menuju Mudzdhalifah untuk mabit dan mencari batu kerikil, sambil diiringi talbiyah Bis yang membawa kami bergerak menuju ke arafah pada pukul 20.00, usai makan malam. Tiba di Mudzdalifah pukul 24.00, kemudian Mabit sampai pukul 01.30 untuk terus kami menuju ke Haram berencana melakukan Thawaf Ifadho terlebih dahulu. Tetapi kepadatan lalu litas yang luar biasa memaksa kami  kembali ke Mina untuk melontar Jumrah Aqobah dan Mabit di Mina sampai dengan Tgl 12 Dzulhijjah atau Nafar Awal. Di Mina Jamaah melontar Jamarat bersama dengan jamaah haji  lainnya yang tahun ini jumlah jamaah haji diperkirakan berjumlah kurang lebih 6 Juta orang. Usai mabit di Mina kami kembali ke rumah transit guna persiapan Thawaf Ifadho dan berangkat menuju ziarah Madinah. Demikian perjalanan Jamaah Haji PT. Sahara Kafila Wisata yang telah kembali ke Tanah Air dengan selamat pada tgl 23 Okt 2014, semoga menjadi Haji Mabrur. Amien Ya Mujibassailin


Jamaah haji yang berada di Madinah, biasanya akan menyempatkan berdoa di Raudhah, bilik kecil di samping makam Rasulullah SAW.
Perjuangan untuk berada di Raudah tidak ringan. Pasalnya, jamaah yang jumlahnya ratusan ribu akan memperebutkan tempat tersebut. Jadi, untuk mencapai tempat yang dicirikan dengan karpet warna beda di Masjid Nabawi ini, memang sedikit ‘penuh perjuangan’.
Syaifullah Hadmar, seorang jamaah, mendapat kesempatan itu secara tak terduga. Sungguh suatu keberuntungan karena setelah berjamaah shalat Maghrib, ia tidak langsung pulang melainkan menunggu datangnya waktu Isya.
Saat menunggu datangnya Isya ini, ia berbaur dengan jamaah asal India, menuju Raudhah. Letak Raudah adalah sebelah kiri dari panggung kecil yang biasa dipakai muadzin mengumandangkan adzan. Ia terus berjalan, hingga tak sadar kakinya sampai di alat karpet berwarna beda. “Ini sudah masuk di area Raudah,” kata Ustaz Helmi dari Kementerian Agama, mengingatkannya.
“Betapa bangga dan leganya,” kata Syaifullah. “Karena Allah telah memberikan kemudahan mengantar sampai tempat yang mustajab.” 
Sebab, untuk mencapai tempat tersebut memerlukan tenaga dan fisik yang prima. Namun, ada hal yang lebih penting lagi dan perlu diperhatikan yakni kekuatan tekad untuk mendatangi dan keikhlasan hati dalam melangkah menuju Raudhah.
Dalam Raudhah sambil menunggu shalat Isya, ia membaca Alquran. Seorang jamah lain membisikinya, “Lakukan shalat sunah dan berdoalah supaya dikuatkan iman dan Islam, serta mohon ampun dan hajat lainnya.” Ia mengikuti.
Seorang mukinin asal Madura bernama Amin menyatakan, rugi besar jika sudah sampai di Masjid Nabawi tidak berusaha mendatangi Raudhah sebagai tempat yang mustajab untuk berdoa. Jutaan jamaah, kata Amin, terus merebutkan tempat tersebut. Bahkan, jamaah asal Malaysia siap memberikan bayaran kalau ada yang bisa membantu mendapatkan tempat di Raudhah.
Amin berbagi kiat menjangkau Raudhah. Caranya, kalau sudah berada di dalam masjid jam berapa pun jangan tergoda dengan rasa ingin pulang.
Selain itu, lanjutnya, jika sudah sampai dalam masjid, masuk terus ke dalam dan mengambil posisi yang dekat dengan tempat tujuan. Dengan demikian, bila ada kesempatan bergeser, tidak akan mengalami kesulitan. “Ingat, niatkan hati dengan sungguh-sungguh dan terus berdoa, Insya Allah akan diberi kemudahan meski berdesak-desakan,” tutur Amin.
Upaya lainnya adalah usahakan datang ke masjid pada awal pintu masjid dibuka. Dengan demikian mempunyai waktu cukup untuk melaksanakan shalat Tahajud, shalat Tasbih, dan shalat Fajar serta melakukan zikir atau membaca Alquran.
Raudah ini adalah bekas masjid Rasullah dan berada di samping makam Rasullah, Abu Bakar as-Shiddiq, dan Umar bin Khatab. Pada pukul 09.00 waktu setempat sampai dengan 30 menit sebelum waktu Zhuhur, Raudhah dikhususkan untuk kaum perempuan.
Karena itu, jamaah perempuan yang ingin mendapatkan tempat ini agar sejak pagi hari mencari tempat di dekat Raudah. Jadi, akan memudahkan untuk mencapai Raudhah ketika penyekatnya dibuka. (rol/nabawia.com)

Pemegang kunci Ka’bah, Syaikh Abdul Qadir Thaha Asy-Syaibi (74 tahun), meninggal dunia hari Kamis (23/10/2014) kemarin. Beliau meninggal setelah berjuang selama lima bulan melawan penyakit kanker.

Syaikh Abdul Qadir menerima tugas sebagai pemegang kunci Ka’bah pada bulan November 2010, menggantikan pendahulunya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah As-Syaibi.

Dalam istilah Islam, pemegang kunci Ka’bah dinamakan Sadin. Dialah penanggung jawab utama dalam segala hal yang terkait dengan Ka’bah. Mulai dari membuka-menutupnya, mengizinkan masuk orang-orang tertentu, mengganti kiswah (penutup) Ka’abh, memberi wangi-wangian, dan sebagainya.

Tugas memegang kunci Ka’bah ini memang menjadi hak keluarga besar Asy-Syaibi sejak zaman Rasulullah saw. Beliaulah yang menugaskan hal tersebut saat menaklukkan kota Makkah. Tugas ini, menurut Rasulllah saw., akan mereka pegang hingga Hari Kiamat. (msa/dakwatuna)

Ilustrasi – Ibadah Haji (inet)
Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan baik mengenai fisik, mental, dan juga biaya. Jika saja ibadah haji diwajibkan pada seluruh lapisan umat Islam, sudah pasti akan memberatkan bagi orang yang tak mampu melaksanakannya. Maka dari itu, seseorang yang dapat melaksanakan ibadah haji memiliki prestise tersendiri, karena tidak setiap orang dapat melaksanakan ibadah tahunan tersebut. Orang yang dapat melaksanakan ibadah haji dianggap sebagai kalangan atas yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Karena begitu mahalnya ongkos naik haji yang mencapai kisaran puluhan juta rupiah, angka yang fantastis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi. Bagi mereka – yang kurang kuat imannya – uang sebanyak itu mungkin lebih baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang menyangkut kelangsungan hidup mereka.

Meski biaya haji yang kerap meningkat setiap tahunnya, tetap tak menyurutkan niat dan semangat umat Islam untuk berziarah ke tanah suci. Terbukti, jumlah calon jamaah haji tahun ini mencapai 168.800 orang. Angka itu terdiri dari haji reguler 155.200 dan haji khusus 13.600 jamaah. Hal ini menunjukkan bahwa antusias masyarakat Indonesia dalam menunaikan ibadah haji tetap tinggi dan senantiasa meningkat, namun sebagian besar merupakan jamaah yang pada tahun-tahun sebelumnya juga melaksanakan rangkaian ibadah haji. Dengan kata lain, banyak di antara mereka yang menjadi langganan haji dengan berangkat lebih dari sekali dalam kurun waktu lima tahun. Secara tidak langsung menunjukkan status ekonomi mereka yang di atas rata-rata. Sayangnya, tidak sedikit di antara mereka yang terkesan membanggakan title haji di depan nama mereka, bahkan banyak yang setelah pergi haji ingin disebut sebagai “pak haji’ atau “bu haji” di lingkungan tempat mereka tinggal. Karena mereka merasa kurang lengkap jika sebutan nama mereka tidak dibarengi dengan kata “haji”. Fenomena tersebut memang tidak bisa disalahkan adanya, karena memang sudah sifat manusia yang selalu ingin mendapatkan perhatian dari sesamanya. Namun yang salah adalah seseorang yang membangga-banggakan gelar hajinya tersebut. Seolah ia dapat melaksanakan ibadah haji dengan kemampuan dan hartanya sendiri. Padahal dalam kalimat talbiyah diucapkan “innal hamda wanni’mata laka” yang memiliki arti “segala puji dan nikmat bagi-muNamun kenyataannya, banyak yang masih membanggakan dan terkesan sombong setelah melaksanakan ibadah haji.
Menunaikan ibadah haji bukanlah perkara mudah, diperlukan niat yang suci dan hati yang bersih sebelum melaksanakannya. Haruslah diniatkan bahwa ibadah haji semata-mata karena ingin mendapatkan ridha Illahi dengan rangkaian ibadah yang dilaksanakan. Tapi faktanya, banyak yang sebelum berangkat telah berniat untuk membawa bekal harta yang banyak untuk berbelanja nantinya. Juga ada di antara mereka yang selalu membanggakan barang belian mereka, dan mereka merasa tidak percaya diri jika tidak membawa apa-apa saat pulang nanti. Dikhawatirkan mereka yang bersikap demikian niatnya berubah untuk kepentingan duniawi saja, tidak murni untuk kepentingan ukhrawi.

Harus disadari bahwa ibadah haji merupakan ritual ibadah yang sakral dan tidak boleh main-main, karena jiwa dan raga seseorang yang melaksanakan haji sepenuhnya dipasrahkan untuk berserah diri kepada Allah dengan beribadah kepadanya. Tidak boleh sedikitpun ada niatan yang kotor di dalam hati. Bahkan, melihat pengalaman dari banyak jamaah haji yang telah melaksanakan ibadah haji, bahwa setiap kelakuan buruk di tanah air akan ditampakkan di tanah haram. Sehingga menjadi bahan introspeksi supaya hati menjadi lebih bersih, dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi untuk ke depannya. Itulah yang disebut dengan haji yang mabrur, yang dapat mengambil hikmah dari perjalanan ke tanah haram. Kemudian selanjutnya menjadi insan yang senantiasa berbuat ihsan.

Begitu banyak keutamaan-keutamaan dan juga pahala yang diperoleh dari ibadah haji. Bahkan Rasul pernah bersabda bahwa tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga. Selain itu, ketika seseorang meminta ampunan kepada Allah di padang Arafah, maka Allah akan membebaskan dari segala dosa dan juga api neraka. Sangat banyak keuntungan ketika melaksanakan ibadah haji, karenanya jangan sampai niat suci kita tercemari oleh perasaan angkuh, sikap hedonis, dan juga riya. Itu semua akan menyebabkan ibadah haji yang dilaksanakan menjadi sia-sia dan tiada nilainya di hadapan Allah SWT. Dengan kata lain, akan menjadikan seseorang akan menjadi haji mardud atau ditolak amal ibadahnya,  na’udzubillah min dzalik.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/10/14/40722/haji-esensi-atau-gelar/#ixzz3Glb7NAO5 
Oleh: Dwi Fahrial

“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”
“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”

Kalimat itu begitu menghentak. Tapi setelah lewat beberapa detik, Hati saya malah tergelitik nyaris terpesona dengan makna kalimat unik itu. Bagaimana mungkin kemabruran seseorang sudah harus dimulai sebelum ia sendiri berangkat ke tanah suci. Bukankah perjalanan ibadah ke sana untuk mendapatkan haji yang mabrur..? Ah, bagaimana mungkin?

Dalam buaian semilir angin sore, saya terus mengunyah-ngunyah makna kalimat itu. Benar-benar kalimat yang mengusik keingintahuan saya. Begitu menelisik , perlahan masuk ke sela-sela memori saya yang mulai payah diajak sprint dalam belajar dan menyerap informasi. Ah, saya harus jujur mengakui, lambat nian nalar saya bisa mencerna kalimat itu dan memahami maknanya. Pengolahan informasi tertatih-tatih dalam sel-sel memori saya yang serasa menyempit.

“Kenapa bisa begitu..?”
Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut saya. Itu bagus, sebelum keburu eror jaringan saraf saya memikirkan makna kalimat itu. Saya tatap wajah teduh itu dengan binar mata ingin tahu. Ni orang asal jangan sembarang ngomong aja tapi ia sendiri ga paham maksud kata-katanya itu. Lintasan pikiran saya sempat berkelibat seperti itu. Tapi hati saya menepis pikiran liar itu. Orang dengan wajah teduh ceria seperti ia dengan kalimat lembut menawan tak layak dicurigai. Ia pasti punya jawaban asik untuk pernyataan yang menggelitik itu. Ia orang soleh yang cerdas. Racikan kata-katanya sedap dan krispi. Jeli memilih dan memilah kata, jadilah kalimat-kalimatnya menjadi ramuan yang sedap di telinga kaya gizi pula. Dan sama sekali terhindar dari mengumbar kata-kata kacangan yang kosong makna dan tanpa data.

“Hahaha..”

Ia malah tertawa kecil memamerkan deretan gigi jagungnya yang indah. Rona wajahnya enak nian ditatap, memancarkan aura kehangatan dan kedekatan. Seakan sudah dapat menduga saya akan berkata seperti itu. Sebentuk kepuasan tergurat di garis bibirnya yang proporsional. Saya merasa tersinggung sebenarnya, tapi saya tak punya alasan mengapa merasa seperti itu. Saya balas tawa kecilnya dengan kalimat lebih terbuka…
“Oke, sekarang jelaskan kenapa bisa begitu…?”

Saya harus tegaskan kalimat itu dengan tetap memasang senyum nomor tiga dan wajah ceria sebisa saya. Seakan saya diajarkan bagaimana memasang wajah cahaya setiap kali berhadapan dengan lawan bicara. Saya merasakan betul pantulan cahaya dari wajahnya setiap kali ia berbicara pada saya. Ah, kau pasti menganggap aku berlebihan kan..?! Tidak kawan, saya tidak berlebihan. Setidaknya seperti itulah yang saya rasakan. Mungkin kau-pun pernah merasakan, betapa asik berbicara dengan seseorang meski hanya berbicara topic-topik ringan dan sederhana. Atau malah sebaliknya, kita bisa merasakan asik berbicara meski membahas topic yang berat dan pelik. Saya piker itu termasuk keterampilan berbicara. Makanya saya memantas-mantaskan diri meniru bagaimana ia berbicara dengan pantulan cahaya hangatnya.

“Kau tahukan, bahwa Haji itu rukun Islam ke lima, artinya yang terakhir..!”
Ia membuka kalimat lanjutan secara datar saja.
“Iya..!”

Jawab saya spontan. Tanpa menunggu komando, nalar saya mulai bereaksi cepat. Kalimatnya membuat sepersekian jawaban di memori saya bekerja. Diolah dan menyatu dalam sebuah jawaban kecil. Tersimpan di salah satu sel otak saya yang akan siap dikeluarkan menunggu perintah berikutnya. Tapi saya terlambat, kalimat berikutnya menyusul keluar dari mulutnya memberi penjelasan tambahan.

“Itu artinya, orang-orang yang pergi ke Baitulloh untuk ibadah Haji adalah orang-orang yang seharusnya sudah beres rukun islam yang pertama sampai ke empat-nya. Syaadatnya sudahbenar. Sholatnya sudah benar. Begitu pula saum dan zakatnya. Maka, saat ia berangkat Haji, ia sudah menjadi seorang yang mabrur, seorang yang baik ibadah-ibadahnya. Sehingga menjadi Haji mabrur menjadi sebuah formalitas saja sebenarnya.”

Saya diam. Merenung. Tersenyum. Saya tatap wajahnya yang teduh namun hangat itu dengan rasa kagum. Betapa sederhana kalimat itu menjadi sebuah kaedah. Mengapa saya tak berpikir dan memahami seperti itu? Padahal sudah puluhan tahun terlewati seiring melajunya usia.

“Terima kasih banyak atas pencerahannya.”

Ujar saya cepat. Karena diapun hendak segera berlalu. Dengan berat dilepasnya pelukan eratnya nan hangat. Saya beruntung bertemu dia, banyak nian kalimat-kalimat hikmah yang saya dapat saat kami ngobrol kilat, memang hanya sepintas, seperti sekarang ini, saat saya bersiap-siap akan berangkat bersama kloter 17 JKS, dan bertemu beberapa menit saja sebelum saya naik bis ke bandara ke tanah suci.

“Jangan lupa banyak berdoa di sana..!”
Sambil berbalik badan ia berlalu dan hilang di kerumunan pengantar dalam keremangan subuh.

Sumber :
http://www.rumahkeluarga-indonesia.com/mabrur-sebelum-haji-6577/
Oleh: Dwi Fahrial

“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”
“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”

Kalimat itu begitu menghentak. Tapi setelah lewat beberapa detik, Hati saya malah tergelitik nyaris terpesona dengan makna kalimat unik itu. Bagaimana mungkin kemabruran seseorang sudah harus dimulai sebelum ia sendiri berangkat ke tanah suci. Bukankah perjalanan ibadah ke sana untuk mendapatkan haji yang mabrur..? Ah, bagaimana mungkin?

Dalam buaian semilir angin sore, saya terus mengunyah-ngunyah makna kalimat itu. Benar-benar kalimat yang mengusik keingintahuan saya. Begitu menelisik , perlahan masuk ke sela-sela memori saya yang mulai payah diajak sprint dalam belajar dan menyerap informasi. Ah, saya harus jujur mengakui, lambat nian nalar saya bisa mencerna kalimat itu dan memahami maknanya. Pengolahan informasi tertatih-tatih dalam sel-sel memori saya yang serasa menyempit.

“Kenapa bisa begitu..?”
Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut saya. Itu bagus, sebelum keburu eror jaringan saraf saya memikirkan makna kalimat itu. Saya tatap wajah teduh itu dengan binar mata ingin tahu. Ni orang asal jangan sembarang ngomong aja tapi ia sendiri ga paham maksud kata-katanya itu. Lintasan pikiran saya sempat berkelibat seperti itu. Tapi hati saya menepis pikiran liar itu. Orang dengan wajah teduh ceria seperti ia dengan kalimat lembut menawan tak layak dicurigai. Ia pasti punya jawaban asik untuk pernyataan yang menggelitik itu. Ia orang soleh yang cerdas. Racikan kata-katanya sedap dan krispi. Jeli memilih dan memilah kata, jadilah kalimat-kalimatnya menjadi ramuan yang sedap di telinga kaya gizi pula. Dan sama sekali terhindar dari mengumbar kata-kata kacangan yang kosong makna dan tanpa data.

“Hahaha..”

Ia malah tertawa kecil memamerkan deretan gigi jagungnya yang indah. Rona wajahnya enak nian ditatap, memancarkan aura kehangatan dan kedekatan. Seakan sudah dapat menduga saya akan berkata seperti itu. Sebentuk kepuasan tergurat di garis bibirnya yang proporsional. Saya merasa tersinggung sebenarnya, tapi saya tak punya alasan mengapa merasa seperti itu. Saya balas tawa kecilnya dengan kalimat lebih terbuka…
“Oke, sekarang jelaskan kenapa bisa begitu…?”

Saya harus tegaskan kalimat itu dengan tetap memasang senyum nomor tiga dan wajah ceria sebisa saya. Seakan saya diajarkan bagaimana memasang wajah cahaya setiap kali berhadapan dengan lawan bicara. Saya merasakan betul pantulan cahaya dari wajahnya setiap kali ia berbicara pada saya. Ah, kau pasti menganggap aku berlebihan kan..?! Tidak kawan, saya tidak berlebihan. Setidaknya seperti itulah yang saya rasakan. Mungkin kau-pun pernah merasakan, betapa asik berbicara dengan seseorang meski hanya berbicara topic-topik ringan dan sederhana. Atau malah sebaliknya, kita bisa merasakan asik berbicara meski membahas topic yang berat dan pelik. Saya piker itu termasuk keterampilan berbicara. Makanya saya memantas-mantaskan diri meniru bagaimana ia berbicara dengan pantulan cahaya hangatnya.

“Kau tahukan, bahwa Haji itu rukun Islam ke lima, artinya yang terakhir..!”
Ia membuka kalimat lanjutan secara datar saja.
“Iya..!”

Jawab saya spontan. Tanpa menunggu komando, nalar saya mulai bereaksi cepat. Kalimatnya membuat sepersekian jawaban di memori saya bekerja. Diolah dan menyatu dalam sebuah jawaban kecil. Tersimpan di salah satu sel otak saya yang akan siap dikeluarkan menunggu perintah berikutnya. Tapi saya terlambat, kalimat berikutnya menyusul keluar dari mulutnya memberi penjelasan tambahan.

“Itu artinya, orang-orang yang pergi ke Baitulloh untuk ibadah Haji adalah orang-orang yang seharusnya sudah beres rukun islam yang pertama sampai ke empat-nya. Syaadatnya sudahbenar. Sholatnya sudah benar. Begitu pula saum dan zakatnya. Maka, saat ia berangkat Haji, ia sudah menjadi seorang yang mabrur, seorang yang baik ibadah-ibadahnya. Sehingga menjadi Haji mabrur menjadi sebuah formalitas saja sebenarnya.”

Saya diam. Merenung. Tersenyum. Saya tatap wajahnya yang teduh namun hangat itu dengan rasa kagum. Betapa sederhana kalimat itu menjadi sebuah kaedah. Mengapa saya tak berpikir dan memahami seperti itu? Padahal sudah puluhan tahun terlewati seiring melajunya usia.

“Terima kasih banyak atas pencerahannya.”

Ujar saya cepat. Karena diapun hendak segera berlalu. Dengan berat dilepasnya pelukan eratnya nan hangat. Saya beruntung bertemu dia, banyak nian kalimat-kalimat hikmah yang saya dapat saat kami ngobrol kilat, memang hanya sepintas, seperti sekarang ini, saat saya bersiap-siap akan berangkat bersama kloter 17 JKS, dan bertemu beberapa menit saja sebelum saya naik bis ke bandara ke tanah suci.

“Jangan lupa banyak berdoa di sana..!”
Sambil berbalik badan ia berlalu dan hilang di kerumunan pengantar dalam keremangan subuh.

Sumber :
http://www.rumahkeluarga-indonesia.com/mabrur-sebelum-haji-6577/
Dalam pelaksanaan haji, saat ihram khususnya, tidak ada untaian kalimat yang terasa lebih menerbitkan keharuan dan getaran jiwa selain kalimat talbiyah. Bahkan yang belum berhaji sekalipun bisa jadi merasakan getaran tersebut sembari berharap dan menanti-kenanti kesempatan yang Allah berikan untuk melantunkannya di tempat dan waktu yang sesungguhnya.
Namun, yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah bagaimana makna yang terkandung dalam kalimat talbiyah meresap dalam jiwa, lalu berwujud dalam gerak nyata, dan kemudian menjadi sebuah keyakinan dan kepribadian mempesona. Karena dia mengandung hal yang sangat prinsip sekali dalam akidah kita.

Secara garis besar, kalimat talbiyah dapat dibagi dua bagian. Bagian pertama adalah;

لبيك اللهم لبيك ، لبيك لا شريك لك لبيك

“Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah.”

Labbaika… adalah ungkapan penuh ketaatan saat mendengar panggilan yang diarahkan kepadanya . Dalam bahasa Arab, ungkapan ini diucapkan dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, seperti anak kepada orang tuanya atau murid kepada gurunya. Sebagaimana para shahabat radhiallahhu anhum, jika dipanggil Rasulullah saw, mereka akan berkata, “Labbaika yaa Rasulallah….” . Dalam konteks ibadah haji, perjalanan yang panjang, ongkos dan beban berat yang harus dipikul serta berbagai kesulitan menghadang, takkan menghalangi kaum muslimin untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji, jika Dia telah izinkan.

Di luar itu, sejatinya, “labbaika..” bukan hanya sebatas ucapan yang dilantunkan, tapi seharusnya menjadi keyakinan tak terpisahkan, bahwa tidak ada jawaban dan sikap yang paling pantas dari diri seorang mukmin saat mendengarkan dan menerima seruan Allah kecuali dia menyatakan “Kami dengar dan kami taat”. Inilah terjemahan yang paling lugas dari kata “labbaik” itu. Sehingga, bukan hanya terhadap seruan haji, tapi terhadap seruan lainnya yang bersumber dari Allah Ta’ala, seperti shalat, puasa, zakat, bakti kepada orang tua, menutup aurat, melaksanakan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, lisaanul haal (sikap) kita hendaknya menyatakan “Labbaika yaa Allah….”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ (سورة الأنفال 24

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfal: 24)

Inilah hakekat tauhid uluhiyah, tauhid ibadah dan penghambaan yang menuntut kita untuk selalu mewujudkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan inilah yang menjadi misi utama para rasul sejak awal hingga akhir. Bahkan pesan tauhid dipertegas lagi dengan kata “Laa syariika lak” (Tidak ada sekutu bagiMu), bahwa ibadah dan penghambaan harus murni kepada Allah Ta’ala semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada ibadah untuk selain-Nya, apapun dan siapapun wujudnya.

Bagian kedua dari kalimat talbiyah adalah:

إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك

“Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanya milik-Mu, tiada setuju bagi-Mu.”

Bagian kedua dari kalimat talbiyah ini berisi pengakuan dan keyakinan mutlak akan kekuasaan dan kerajaan Allah Ta’ala serta kebesaran dan keagunganNya yang tiada tanding. Maka segala puji hanya layak diberikan kepada-Nya. Lebih dari itu, nikmat Allah Ta’ala tiada terkira kepada setiap hamba. Tidak ada satupun bagian hidup kita kecuali bergantung dengan nikmat dan kasih sayangNya. Dialah yang menentukan dan mengatur segala kehidupan ini. Maka segala puji hanya layak dikembalikan kepada-Nya.

Inilah Tauhid Rububiyah yang juga tidak boleh hilang dalam diri seorang muslim. Pernyataan ini pun diperkuat dengan nilai tauhid yang mutlak dan murni yang tidak menerima sikap mendua; “Laa syariika lak” (tidak ada sekutu bagiMu). Tauhid Rububiyah mengajarkan kita untuk bersandar dan bergantung dengan kekuatan dan kekuasaan Allah semata. Bahwa apapun kedudukan, kekuatan dan kebesaran yang kita miliki, atau yang dimiliki oleh makhluk apapun dan siapapun, semua itu tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan dan kekuatan Allah yang sedikitpun kehidupan kita tidak dapat berpisah darinya. Jangan sampai penyandaran dan kepasrahan kita dialihkan kepada diri sendiri atau makhluk lainnya dibanding kepada Allah.

Apalagi pada saat yang sama dan tempat yang sama, jamaah haji dari berbagai penjuru dunia dikumpulkan dengan berbagai latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang beraneka ragam. Semua kebesaran dan simbol-simbol duniawi hendaknya ditanggalkan.

Maka, ketika sesaat sebelum ihram seseorang melucuti pakaian biasanya untuk diganti dengan kain ihram, hendaknya diapun melucuti kesombongannya dan keangkuhannya untuk kemudian menjadi hamba yang bersandar, bergantung dan memohon hanya kepada Allah Ta’ala. Sebuah sikap yang tidak hanya dituntut saat dia melaksanakan ibadah haji, tapi dalam semua aspek kehidupannya, sebelum haji, saat haji maupun sesudah haji.

Mengumandangkan kalimat talbiyah sambil meresapi makna yang terkandung di dalamnya, tentu akan lebih mampu mengetuk dinding-dinding hati dan lebih memberikan energi untuk semakin mempersembahkan ketundukan kepada Allah rabul izzati… (PKS Taiwan)

Riyadh, Dzulqa’dah 1434 H
Abdullah Haidir, Lc
Dalam pelaksanaan haji, saat ihram khususnya, tidak ada untaian kalimat yang terasa lebih menerbitkan keharuan dan getaran jiwa selain kalimat talbiyah. Bahkan yang belum berhaji sekalipun bisa jadi merasakan getaran tersebut sembari berharap dan menanti-kenanti kesempatan yang Allah berikan untuk melantunkannya di tempat dan waktu yang sesungguhnya.
Namun, yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah bagaimana makna yang terkandung dalam kalimat talbiyah meresap dalam jiwa, lalu berwujud dalam gerak nyata, dan kemudian menjadi sebuah keyakinan dan kepribadian mempesona. Karena dia mengandung hal yang sangat prinsip sekali dalam akidah kita.

Secara garis besar, kalimat talbiyah dapat dibagi dua bagian. Bagian pertama adalah;

لبيك اللهم لبيك ، لبيك لا شريك لك لبيك

“Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah.”

Labbaika… adalah ungkapan penuh ketaatan saat mendengar panggilan yang diarahkan kepadanya . Dalam bahasa Arab, ungkapan ini diucapkan dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, seperti anak kepada orang tuanya atau murid kepada gurunya. Sebagaimana para shahabat radhiallahhu anhum, jika dipanggil Rasulullah saw, mereka akan berkata, “Labbaika yaa Rasulallah….” . Dalam konteks ibadah haji, perjalanan yang panjang, ongkos dan beban berat yang harus dipikul serta berbagai kesulitan menghadang, takkan menghalangi kaum muslimin untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji, jika Dia telah izinkan.

Di luar itu, sejatinya, “labbaika..” bukan hanya sebatas ucapan yang dilantunkan, tapi seharusnya menjadi keyakinan tak terpisahkan, bahwa tidak ada jawaban dan sikap yang paling pantas dari diri seorang mukmin saat mendengarkan dan menerima seruan Allah kecuali dia menyatakan “Kami dengar dan kami taat”. Inilah terjemahan yang paling lugas dari kata “labbaik” itu. Sehingga, bukan hanya terhadap seruan haji, tapi terhadap seruan lainnya yang bersumber dari Allah Ta’ala, seperti shalat, puasa, zakat, bakti kepada orang tua, menutup aurat, melaksanakan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, lisaanul haal (sikap) kita hendaknya menyatakan “Labbaika yaa Allah….”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ (سورة الأنفال 24

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfal: 24)

Inilah hakekat tauhid uluhiyah, tauhid ibadah dan penghambaan yang menuntut kita untuk selalu mewujudkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan inilah yang menjadi misi utama para rasul sejak awal hingga akhir. Bahkan pesan tauhid dipertegas lagi dengan kata “Laa syariika lak” (Tidak ada sekutu bagiMu), bahwa ibadah dan penghambaan harus murni kepada Allah Ta’ala semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada ibadah untuk selain-Nya, apapun dan siapapun wujudnya.

Bagian kedua dari kalimat talbiyah adalah:

إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك

“Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanya milik-Mu, tiada setuju bagi-Mu.”

Bagian kedua dari kalimat talbiyah ini berisi pengakuan dan keyakinan mutlak akan kekuasaan dan kerajaan Allah Ta’ala serta kebesaran dan keagunganNya yang tiada tanding. Maka segala puji hanya layak diberikan kepada-Nya. Lebih dari itu, nikmat Allah Ta’ala tiada terkira kepada setiap hamba. Tidak ada satupun bagian hidup kita kecuali bergantung dengan nikmat dan kasih sayangNya. Dialah yang menentukan dan mengatur segala kehidupan ini. Maka segala puji hanya layak dikembalikan kepada-Nya.

Inilah Tauhid Rububiyah yang juga tidak boleh hilang dalam diri seorang muslim. Pernyataan ini pun diperkuat dengan nilai tauhid yang mutlak dan murni yang tidak menerima sikap mendua; “Laa syariika lak” (tidak ada sekutu bagiMu). Tauhid Rububiyah mengajarkan kita untuk bersandar dan bergantung dengan kekuatan dan kekuasaan Allah semata. Bahwa apapun kedudukan, kekuatan dan kebesaran yang kita miliki, atau yang dimiliki oleh makhluk apapun dan siapapun, semua itu tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan dan kekuatan Allah yang sedikitpun kehidupan kita tidak dapat berpisah darinya. Jangan sampai penyandaran dan kepasrahan kita dialihkan kepada diri sendiri atau makhluk lainnya dibanding kepada Allah.

Apalagi pada saat yang sama dan tempat yang sama, jamaah haji dari berbagai penjuru dunia dikumpulkan dengan berbagai latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang beraneka ragam. Semua kebesaran dan simbol-simbol duniawi hendaknya ditanggalkan.

Maka, ketika sesaat sebelum ihram seseorang melucuti pakaian biasanya untuk diganti dengan kain ihram, hendaknya diapun melucuti kesombongannya dan keangkuhannya untuk kemudian menjadi hamba yang bersandar, bergantung dan memohon hanya kepada Allah Ta’ala. Sebuah sikap yang tidak hanya dituntut saat dia melaksanakan ibadah haji, tapi dalam semua aspek kehidupannya, sebelum haji, saat haji maupun sesudah haji.

Mengumandangkan kalimat talbiyah sambil meresapi makna yang terkandung di dalamnya, tentu akan lebih mampu mengetuk dinding-dinding hati dan lebih memberikan energi untuk semakin mempersembahkan ketundukan kepada Allah rabul izzati… (PKS Taiwan)

Riyadh, Dzulqa’dah 1434 H
Abdullah Haidir, Lc
Haji dalah perjalanan ibadah. Kewajiban ibadah ini disesuaikan dengan kemampuan seseorang. Orang yang mampu secara biaya, kesehatan, keluangan, dan keamanan, wajib melaksanakannya. Seperti firman Allah swt.: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali Imran: 97].

Oleh karena itu, orang yang melaksanakan haji disyaratkan memnyiapkan bekal yang cukup, selain biaya yang sudah ditentukan dengan ONH. Mempunyai bekal yang cukup juga bertujuan agar sempurna seorang haji dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Karena kalau tidak memiliki bekal, dia akan meminta-minta kepada orang lain. Hal itu akan berakibat menundukkan dan merendahkan diri kepada sesama makhluk. Bukan kepada Allah swt.

Bagi sejumlah orang, jumlah ONH terasa sangat besar. Apalagi di tengah iklim ekonomi yang kian sulit. Sehingga mereka kadang terpikir, jika dana sebesar itu digunakan untuk berinvestasi, tentu akan sangat menguntungkan. Bukan dibuang-buang untuk perjalanan haji.

Membelanjakan dana untuk menunaikan ibadah haji bukanlah sesuatu yang sia-sia. Orang yang menghabiskan banyak dana untuk menunaikan ibadah haji hendaknya tidak merasa telah kehilangan hartanya. Hal itu karena Allah swt. akan membalasnya dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Pembiayaan dalam haji sama dengan pembiayaan dalam berjihad di jalan Allah swt; akan dibalas dengan pahala 700 kali lipat.” [HR. Ahmad].

Dalam hadits lain disebutkan, “Orang yang melaksanakan haji dan orang yang melaksanakan umrah adalah tetamu Allah swt. Allah swt. akan memberi apa yang mereka minta; akan mengabulkan doa yang mereka panjatkan; akan mengganti biaya yang telah mereka keluarkan; dan akan melipat-gandakan setiap satu Dirham menjadi satu juta Dirham.” [HR. Al-Fakihani dalam Akhbaru Makkah].

Disebutkan dalam hadits di atas, Allah swt. akan mengganti biaya yang mereka keluarkan itu dalam kehidupan dunia. Sedangkan balasan yang dilipat-gandakan itu akan diberikan di akhirat. Maka dari itu, tidak perlu ada perasaan takut miskin ketika harus mengeluarkan biaya yang banyak. Karena Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang melaksanakan haji sama sekali tidak akan jatuh miskin.” [HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar]. [msa/dakwatuna].
Haji dalah perjalanan ibadah. Kewajiban ibadah ini disesuaikan dengan kemampuan seseorang. Orang yang mampu secara biaya, kesehatan, keluangan, dan keamanan, wajib melaksanakannya. Seperti firman Allah swt.: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali Imran: 97].

Oleh karena itu, orang yang melaksanakan haji disyaratkan memnyiapkan bekal yang cukup, selain biaya yang sudah ditentukan dengan ONH. Mempunyai bekal yang cukup juga bertujuan agar sempurna seorang haji dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Karena kalau tidak memiliki bekal, dia akan meminta-minta kepada orang lain. Hal itu akan berakibat menundukkan dan merendahkan diri kepada sesama makhluk. Bukan kepada Allah swt.

Bagi sejumlah orang, jumlah ONH terasa sangat besar. Apalagi di tengah iklim ekonomi yang kian sulit. Sehingga mereka kadang terpikir, jika dana sebesar itu digunakan untuk berinvestasi, tentu akan sangat menguntungkan. Bukan dibuang-buang untuk perjalanan haji.

Membelanjakan dana untuk menunaikan ibadah haji bukanlah sesuatu yang sia-sia. Orang yang menghabiskan banyak dana untuk menunaikan ibadah haji hendaknya tidak merasa telah kehilangan hartanya. Hal itu karena Allah swt. akan membalasnya dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Pembiayaan dalam haji sama dengan pembiayaan dalam berjihad di jalan Allah swt; akan dibalas dengan pahala 700 kali lipat.” [HR. Ahmad].

Dalam hadits lain disebutkan, “Orang yang melaksanakan haji dan orang yang melaksanakan umrah adalah tetamu Allah swt. Allah swt. akan memberi apa yang mereka minta; akan mengabulkan doa yang mereka panjatkan; akan mengganti biaya yang telah mereka keluarkan; dan akan melipat-gandakan setiap satu Dirham menjadi satu juta Dirham.” [HR. Al-Fakihani dalam Akhbaru Makkah].

Disebutkan dalam hadits di atas, Allah swt. akan mengganti biaya yang mereka keluarkan itu dalam kehidupan dunia. Sedangkan balasan yang dilipat-gandakan itu akan diberikan di akhirat. Maka dari itu, tidak perlu ada perasaan takut miskin ketika harus mengeluarkan biaya yang banyak. Karena Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang melaksanakan haji sama sekali tidak akan jatuh miskin.” [HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar]. [msa/dakwatuna].
ilustrasi @vk 

Tahun 1991, ONH-nya sekitar enam juta rupiah. Bertambah lama seiring dengan perubahan nilai tukar rupiah, ONH semakin naik. Tujuh juta, sembilan juta, dua belas juta, dua puluh satu juta, dua puluh lima juta rupiah,

Bagaimana kalau ada orang yang pergi haji dengan modal ‘seratus rupiah’ saja?

Pada hari minggu pagi yang cerah, seperti biasanya saya pergi belanja di salah satu pasar. Suatu ketika saya belanja palawija pada seorang ibu setengah baya. Ada satu hal yang membuat saya terpana. Saya sangat tertarik melihat cara ibu tersebut melayani pembelinya.

Karena tertarik, maka setiap saya pergi ke pasar tersebut saya selalu memperhatikan lebih seksama lagi terhadap perilakunya. Beberapa kali saya perhatikan menjadikan saya lebih ‘penasaran’ untuk lebih mengikuti secara rutin kejadian demi kejadian yang ‘diperagakan’ oleh ibu tersebut.

Katakanlah ia bernama Ibu Asih. Apa yang dilakukannya setiap ia melayani pembelinya? Yang membuat saya kagum tiada habisnya ialah, setiap ia selesai menjual barang dagangannya, secara spontan mulutnya selalu bergumam lirih dengan ucapan “Alhamdulillah.”

Apakah dagangannya laku sedikit atau laku banyak, selalu saja mulutnya bergumam alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukurnya.

Yang lebih menarik lagi ialah setiap ada orang peminta-minta yang menengadahkan tangannya, tidak satupun yang tidak diberinya, demikian pula tak satupun seorang pengamen yang lewat yang tidak diberinya.

Meskipun ia sedang sibuk melayani orang-orang yang sedang membeli barang dagangannya, selalu saja ia menyempatkan tangannya untuk memberi mereka. Diambilnya uang logam seratus rupiah, yang rupanya sudah disediakan untuk orang-orang tersebut. Sayangnya saya tidak pernah bertanya kepadanya kira-kira ada berapa puluh orang dalam satu hari ia memberi orang miskin dan para pengamen tersebut .

Ini sebuah kejadian yang nampaknya biasa-biasa saja. Tetapi memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan religius. Ucapan syukur beserta penghayatan dan sekaligus pengamalannya telah diperagakan oleh ibu Asih. Meskipun dengan cara sederhana dan dengan nilai rupiah yang kecil.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi sebuah toko yang lebih besar, yang letaknya tidak seberapa jauh dari ibu penjual palawija ini.

Di depan toko itu tertempel kertas putih bertuliskan kalimat yang cukup ‘sopan’ yaitu : ‘maaf, ngamen gratis’

Sebuah retorika yang cukup sopan dan lembut, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lebih arif, kita bisa menyimpulkan bahwa hati dan perasaan ibu Asih jauh lebih lembut dari pemilik toko tersebut.

Saya menaksir bahwa keuntungan yang diraih oleh pemilik toko tersebut nampaknya cukup besar setiap harinya. Tetapi ia tidak mau dan tidak rela ‘berbagi rasa’ dengan para pengamen dan para pengemis, walaupun hanya seratus rupiah saja.

Sungguh sangat berbeda dengan kondisi ibu Asih, yang dagangannya jauh lebih kecil dibanding toko tersebut, tetapi ia mempunyai hati yang lembut dan rasa welas asih kepada para pengamen dan para peminta-minta.

Setelah saya amati sekian lama, hasil dari perilaku ibu Asih tersebut sungguh luar biasa. Kami perhatikan barang dagangannya bertambah lama semakin bertambah besar. Dan klimaksnya, beberapa waktu yang lalu ia dapat pergi menunaikan ibadah Haji bersama suaminya.

Dan saya pun merenung. Allah telah mengganti nilai seratus rupiah yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin itu. Sekarang tumbuh menjadi dua buah ONH bu Asih dan suaminya. Sungguh luar biasa!

Satu lagi yang dapat saya simpulkan, bahwa ucapan alhamdulillah di bibir ibu Asih mempunyai timbangan setara dengan lima puluh juta rupiah. Subhaanallah…

Apa janji Allah Swt? “Barangsiapa yang mensyukuri nikmatKu, pasti akan Aku tambah, dan barang siapa yang lalai dan kufur terhadap nikmatKu, maka tunggulah siksaKu amatlah pedihnya.” (QS. Ibrahim : 7).

Melihat contoh sederhana dalam kehidupan semacam ini, sebagai orang yang beriman tentu hati kita menjadi tergerak untuk menirunya. Meniru kelemahlembutan hatinya. Meniru kepeduliannya. Meniru rasa percaya dirinya akan balasan dari Allah Swt. Dan meniru bagaimana cara mengungkapkan rasa syukurnya.

Yah, kadang-kadang manusia memang harus banyak belajar dari manusia lainnya. Bahkan dari semua peristiwa yang telah terjadi. Karena semua peristiwa yang telah terjadi di dunia ini adalah contoh berharga yang harus kita pelajari, kita baca, dan kita renungkan. Semua itu merupakan ilmu Allah yang sangat mahal nilainya.

Dengan ‘modal’ seratus rupiah, bu Asih berangkat Haji bersama suami. [islampos]

Sumber : Bersamadakwah.com
ilustrasi @vk 

Tahun 1991, ONH-nya sekitar enam juta rupiah. Bertambah lama seiring dengan perubahan nilai tukar rupiah, ONH semakin naik. Tujuh juta, sembilan juta, dua belas juta, dua puluh satu juta, dua puluh lima juta rupiah,

Bagaimana kalau ada orang yang pergi haji dengan modal ‘seratus rupiah’ saja?

Pada hari minggu pagi yang cerah, seperti biasanya saya pergi belanja di salah satu pasar. Suatu ketika saya belanja palawija pada seorang ibu setengah baya. Ada satu hal yang membuat saya terpana. Saya sangat tertarik melihat cara ibu tersebut melayani pembelinya.

Karena tertarik, maka setiap saya pergi ke pasar tersebut saya selalu memperhatikan lebih seksama lagi terhadap perilakunya. Beberapa kali saya perhatikan menjadikan saya lebih ‘penasaran’ untuk lebih mengikuti secara rutin kejadian demi kejadian yang ‘diperagakan’ oleh ibu tersebut.

Katakanlah ia bernama Ibu Asih. Apa yang dilakukannya setiap ia melayani pembelinya? Yang membuat saya kagum tiada habisnya ialah, setiap ia selesai menjual barang dagangannya, secara spontan mulutnya selalu bergumam lirih dengan ucapan “Alhamdulillah.”

Apakah dagangannya laku sedikit atau laku banyak, selalu saja mulutnya bergumam alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukurnya.

Yang lebih menarik lagi ialah setiap ada orang peminta-minta yang menengadahkan tangannya, tidak satupun yang tidak diberinya, demikian pula tak satupun seorang pengamen yang lewat yang tidak diberinya.

Meskipun ia sedang sibuk melayani orang-orang yang sedang membeli barang dagangannya, selalu saja ia menyempatkan tangannya untuk memberi mereka. Diambilnya uang logam seratus rupiah, yang rupanya sudah disediakan untuk orang-orang tersebut. Sayangnya saya tidak pernah bertanya kepadanya kira-kira ada berapa puluh orang dalam satu hari ia memberi orang miskin dan para pengamen tersebut .

Ini sebuah kejadian yang nampaknya biasa-biasa saja. Tetapi memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan religius. Ucapan syukur beserta penghayatan dan sekaligus pengamalannya telah diperagakan oleh ibu Asih. Meskipun dengan cara sederhana dan dengan nilai rupiah yang kecil.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi sebuah toko yang lebih besar, yang letaknya tidak seberapa jauh dari ibu penjual palawija ini.

Di depan toko itu tertempel kertas putih bertuliskan kalimat yang cukup ‘sopan’ yaitu : ‘maaf, ngamen gratis’

Sebuah retorika yang cukup sopan dan lembut, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lebih arif, kita bisa menyimpulkan bahwa hati dan perasaan ibu Asih jauh lebih lembut dari pemilik toko tersebut.

Saya menaksir bahwa keuntungan yang diraih oleh pemilik toko tersebut nampaknya cukup besar setiap harinya. Tetapi ia tidak mau dan tidak rela ‘berbagi rasa’ dengan para pengamen dan para pengemis, walaupun hanya seratus rupiah saja.

Sungguh sangat berbeda dengan kondisi ibu Asih, yang dagangannya jauh lebih kecil dibanding toko tersebut, tetapi ia mempunyai hati yang lembut dan rasa welas asih kepada para pengamen dan para peminta-minta.

Setelah saya amati sekian lama, hasil dari perilaku ibu Asih tersebut sungguh luar biasa. Kami perhatikan barang dagangannya bertambah lama semakin bertambah besar. Dan klimaksnya, beberapa waktu yang lalu ia dapat pergi menunaikan ibadah Haji bersama suaminya.

Dan saya pun merenung. Allah telah mengganti nilai seratus rupiah yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin itu. Sekarang tumbuh menjadi dua buah ONH bu Asih dan suaminya. Sungguh luar biasa!

Satu lagi yang dapat saya simpulkan, bahwa ucapan alhamdulillah di bibir ibu Asih mempunyai timbangan setara dengan lima puluh juta rupiah. Subhaanallah…

Apa janji Allah Swt? “Barangsiapa yang mensyukuri nikmatKu, pasti akan Aku tambah, dan barang siapa yang lalai dan kufur terhadap nikmatKu, maka tunggulah siksaKu amatlah pedihnya.” (QS. Ibrahim : 7).

Melihat contoh sederhana dalam kehidupan semacam ini, sebagai orang yang beriman tentu hati kita menjadi tergerak untuk menirunya. Meniru kelemahlembutan hatinya. Meniru kepeduliannya. Meniru rasa percaya dirinya akan balasan dari Allah Swt. Dan meniru bagaimana cara mengungkapkan rasa syukurnya.

Yah, kadang-kadang manusia memang harus banyak belajar dari manusia lainnya. Bahkan dari semua peristiwa yang telah terjadi. Karena semua peristiwa yang telah terjadi di dunia ini adalah contoh berharga yang harus kita pelajari, kita baca, dan kita renungkan. Semua itu merupakan ilmu Allah yang sangat mahal nilainya.

Dengan ‘modal’ seratus rupiah, bu Asih berangkat Haji bersama suami. [islampos]

Sumber : Bersamadakwah.com
Hajinya Sang Tukang Sepatu

Hajinya Sang Tukang Sepatu

Ia memberikan seluruh uangnya untuk naik haji guna memberi makan anak yatim. Setiap orang yang ingin menunaikan rukun Islam kelima...
Read More
Jamaah Haji Sahara Kafila Menuju Haji Mabrur

Jamaah Haji Sahara Kafila Menuju Haji Mabrur

LABAIKALLAHUMMA LABAIK, LABAIKKALA SYARIKA LAKA LABAIK, INNALHAMDA WANNI’MATA LAKA WALMULK LAA SYARIKA LAKA (Kami penuhi panggilanMu ya Al...
Read More
Perjuangan Mencapai Raudhah

Perjuangan Mencapai Raudhah

Jamaah haji yang berada di Madinah, biasanya akan menyempatkan berdoa di Raudhah, bilik kecil di samping makam Rasulullah SAW. Perju...
Read More
Pemegang Kunci Pintu Ka’bah Meninggal Dunia

Pemegang Kunci Pintu Ka’bah Meninggal Dunia

Pemegang kunci Ka’bah, Syaikh Abdul Qadir Thaha Asy-Syaibi (74 tahun), meninggal dunia hari Kamis (23/10/2014) kemarin. Beliau meningga...
Read More
Haji, Esensi atau Gelar?

Haji, Esensi atau Gelar?

Ilustrasi – Ibadah Haji (inet) Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki ...
Read More
Mabrur Sebelum Haji

Mabrur Sebelum Haji

Oleh: Dwi Fahrial “Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!” “Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!” Kalimat itu beg...
Read More
Mabrur Sebelum Haji

Mabrur Sebelum Haji

Oleh: Dwi Fahrial “Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!” “Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!” Kalimat ...
Read More
Talbiyah, Deklarasi Penghambaan dan Kepasrahan Seorang Muslim

Talbiyah, Deklarasi Penghambaan dan Kepasrahan Seorang Muslim

Dalam pelaksanaan haji, saat ihram khususnya, tidak ada untaian kalimat yang terasa lebih menerbitkan keharuan dan getaran jiwa selain kalim...
Read More
Talbiyah, Deklarasi Penghambaan dan Kepasrahan Seorang Muslim

Talbiyah, Deklarasi Penghambaan dan Kepasrahan Seorang Muslim

Dalam pelaksanaan haji, saat ihram khususnya, tidak ada untaian kalimat yang terasa lebih menerbitkan keharuan dan getaran jiwa selain ...
Read More
Jangan Khawatir, ONH Kita Akan Diganti Allah SWT

Jangan Khawatir, ONH Kita Akan Diganti Allah SWT

Haji dalah perjalanan ibadah. Kewajiban ibadah ini disesuaikan dengan kemampuan seseorang. Orang yang mampu secara biaya, kesehatan, kelua...
Read More
Jangan Khawatir, ONH Kita Akan Diganti Allah SWT

Jangan Khawatir, ONH Kita Akan Diganti Allah SWT

Haji dalah perjalanan ibadah. Kewajiban ibadah ini disesuaikan dengan kemampuan seseorang. Orang yang mampu secara biaya, kesehatan, kel...
Read More
Haji Seratus Rupiah

Haji Seratus Rupiah

ilustrasi @vk  Tahun 1991, ONH-nya sekitar enam juta rupiah. Bertambah lama seiring dengan perubahan nilai tukar rupiah, ONH semakin naik. T...
Read More
Haji Seratus Rupiah

Haji Seratus Rupiah

ilustrasi @vk  Tahun 1991, ONH-nya sekitar enam juta rupiah. Bertambah lama seiring dengan perubahan nilai tukar rupiah, ONH semakin ...
Read More